Mencari Jejak Ibrahim dalam Sejarah
Tatkala seorang Badui tengah menggali tanah di sekitar Tell Hariri — sebuah tempat di utara perbatasan Syria-Irak, guna mencari batu yang akan digunakan sebagai nisan bagi kerabatnya yang baru saja meninggal dunia pada tahun 1933. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah patung tanpa kepala di lokasi tersebut. Kabar penemuan patung tanpa kepala ini sampai ke telinga otoritas Prancis yang menguasai wilayah tersebut. Mereka kemudian mengirim tim arkeolog guna melakukan eskavasi di lokasi penemuan. Tidak berselang lama tim menemukan ribuan tablet tanah liat yang merupakan koleksi perpustakaan Zimri-Lim, seorang raja terakhir dari Kerajaan Mari yang berkuasa antara tahun 1775–1761 SM. Tablet-tablet ini berisi catatan mengenai nama-nama orang yang hidup pada saat itu, korespondensi dan berbagai macam adat istiadat penduduk kerajaan Mari.
Diantara catatan-catatan tersebut terdapat beberapa nama yang menarik perhatian, diantaranya Til-Nakhiri, Til-(sha)-Turakhi, Sarugi. Mereka yang akrab dengan kajian Bible akan langsung mengenali ketiga nama tersebut, berturut-turut Nahor, Terah, dan Serug. Dimana Nahor adalah ayah dari Terah yang merupakan ayah dari Ibrahim, sedangkan Serug adalah saudara dari Ibrahim. Namun yang membuat catatan Mari berbeda adalah ketiga nama tersebut sebenarnya tidak merujuk kepada orang, melainkan nama-nama kota yang bertetangga dengan Harran, kota kelahiran Ibrahim.
Selain tiga nama itu, teks Mari juga mengungkap sejumlah nama individu dan suku macam haqba-hammu/-ahim/ (Jacob), Yasmaḥ-El/-Adad/-Baʿal/dst (Ismail), bini-yamina (Benyamin), serta sejumlah kosa kata yang mirip dengan kosa kata semitik seperti: ayin (mata air), aqdamatun (qedem = Timur) dsb[2] .
Nama-nama Ibrahim
Temuan nama-nama semitik di Tell Hariri bukan satu-satunya petunjuk akan kehidupan era Patriark, Ibrahim hingga Yusuf. Hampir tiga dasawarsa sebelumnya Egyptolog James H Breasted mempublikasikan penelitian yang ia lakukan pada prasasti Shoshanq I. Prasasti ini ditemukan oleh Jean-Francois Champoilion pada tahun 1828 di Gerbang Bubastide, kompleks Kuil Karnak Mesir. Shoshanq sendiri adalah seorang raja Mesir dari Dinasti ke-12 dan dikenal dalam Bible sebagai Firaun Shishank. Dalam prasasti tersebut Shoshanq mencatat 156 nama kota yang berhasil ia taklukkan pada saat melakukan ekspedisi militer ke Levant. Menurut Breasted, baris ke-71 dan 72 prasasti tersebut tercatat sebuah tempat bernama “plhqri ibrm” yang bila diartikan dalam bahasa Inggris bermakna field of Abram atau benteng, lapangan, bisa juga wadi Ibrahim. Tempat ini meskipun tidak diketahui lokasi pastinya namun merupakan temuan pertama di luar Bible dan Quran yang mencatat keberadaan nama Ibrahim.
Selain gerbang Bubastide, nama Ibrahim turut muncul dalam sejumlah dokumen transaksi dagang dan surat perjanjian utang piutang di beberapa tablet tanah liat yang ditemukan di Dilbad dan Dilmu, beberapa kilometer Tenggara Borsippa. Dokumen ini ditulis pada masa pemerintahan Ammi-Saduqa, Dinasti Pertama Babylonia, antara tahun 1646–1626 SM. Dalam dokumen ini nama Ibrahim tercatata dalam bentuk A-ba-am-ra-am, A-ba-ra-ma serta A-ba-am-ra-ma sebagai seorang petani kecil yang menyewa sebidang lahan dari seorang pemilik lahan bernama Sin-iddin. Meski demikian para arkeolog umumnya sepakat bahwa Ibrahim di dokumen tersebut bukanlah Ibrahim dalam Bible dan Quran, melainkan tokoh lain yang berbeda karena ia adalah anak dari Amil-Ishtar bukan Terah atau Azar.[3]
Tablet Nuzi
Temuan arkeologis lain yang berperan besar dalam pencarian sosok Ibrahim adalah dokumen Nuzi. Dokumen-dokumen dalam bentuk tablet tanah liat ini awalnya ditemukan oleh Gertrude Bell — yang saat itu menjabat Kepala Departemen Kepurbakalaan Irak — setelah beredar lama di sejumlah toko barang antik di Baghdad pada 1923. Tablet-tablet tersebut berasal dari situs arkeologi di Kirkuk dan Yorghan Tepe. Ia pun merekomendasikan Edward Chiera, pengajar di American Schools of Orientall Research untuk melakukan eskavasi.
Chiera sendiri baru memulai penggalian dua tahun kemudian di sebuah situs yang berjarak beberapa ratus meter dari Yorghan Tepe. Disana ia menemukan 1000 tablet tanah liat dari pertengahan milenium kedua. Dalam penggalian yang dilakukan antara tahun 1928–1931 Chiera kembali menemukan 1000 tablet, dan 4000 tablet lagi di akhir tahun 1931.
Mayoritas tablet yang ditemukan di Nuzi ini ditulis menggunakan bahasa Akkad dan berisi berbagai macam catatan, mulai dari akad nikah, aturan-aturan keluarga hingga perjanjian bisnis yang berlangsung selama empat hingga lima generasi. Para penulis catatan ini adalah bangsa Hurrian yang mendiami Nuzi, Mesopotamia Tengah, hingga Harran dan utara Syria pada abad 18 SM. Tapi apa sebenarnya yang membuat tablet-tablet Nuzi ini begitu istimewa?
Dalam salah satu tablet tertulis catatan mengenai kewajiban pemberian seorang wanita budak oleh istri yang tidak memiliki anak kepada suaminya.
Selanjutnya, Kelim-ninu dinikahkan dengan Shennima. Bila Kelim-ninu hamil, maka Shenima tidak diperkenankan menikah lagi; tapi bila Kelim-ninu tidak dapat hamil, maka ia diharuskan mengambil seorang perempuan dari daerah Lulu sebagai istri bagi Shennima, dan Kelim-ninu tidak diperbolehkan mengusir keturunannya. Setiap anak laki-laki Shennima yang lahir dari rahim Kelim-ninu, akan mewarisi seluruh tanah dan bangunan. Tapi jika ia tidak melahirkan anak laki-laki maka anak perempuan Kelim-ninu hanya diperbolehkan mengambil satu bagian saja dari tanah dan bangunannya.
Potongan perjanjian ini mengingatkan kita akan kisah pemberian Hajar oleh Sarah kepada Ibrahim. Dimana Sarah yang belum dikaruniai anak mempersilahkan suaminya bergaul dengan budak wanitanya agar ia mendapatkan keturunan.[4]
Tidak berhenti disana, tablet-tablet Nuzi juga mencatat kasus lain yang juga aneh yakni kontrak pernikahan antara seorang perempuan bernama Beltakkadummi dengan Hurazzi yang dicatat oleh kakak si perempuan Akkuleni ibn Akiya. Yang menarik, Akkuleni juga mencatat di kontrak berikutnya bahwa Beltakkadummi menjadi “saudara perempuan” dari suaminya sendiri. Ia bahkan menambahkan di dokumen ketiga hak-hak kebebasan yang dinikmati oleh adiknya itu setelah dijadikan saudara perempuan bagi suaminya. Status istri sebagai saudara perempuan ini mengingatkan kita akan episode pertemuan antara Ibrahim dengan Firaun dalam Genesis 20:12, dimana ia memperkenalkan Sarah sebagai adik perempuannya karena takut akan dibunuh oleh sang raja. Dalam pertemuan selanjutnya dengan Abimelech, Ibrahim kembali mengulangi tindakannya dihadapan Firaun dengan memperkenalkan Sarah sebagai adik perempuannya ketimbang istrinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ishak terhadap istrinya Rebekah. [5]
Selain dua paralelitas diatas, kisah penjualan hak lahir, birthright, anak pertama oleh Esau kepada Ya’qub, atau adopsi Eliezer oleh Ibrahim juga memiliki banyak paralelitas dengan catatan di tablet Nuzi. Bukti-bukti ini menunjukkan bila kisah Ibrahim sesungguhnya dibangun diatas konteks budaya Hurrian yang nyata. Meski demikian apakah kisah tersebut benar-benar terjadi adalah pertanyaan lain yang butuh lebih banyak penjelasan.
The Evil in Details
Tantangan sesungguhnya atas pertanyaan ini justru datang dari ranah zooarchaeology. Pada tahun 2013, Lidar Sapir-Hen dan Erez Ben-Yosef dari Tel Aviv University menulis sebuah paper berjudul “The Introduction of Domestic Camels to the Southern Levant: Evidence from Aravah Valley” [6]. Dalam paper tersebut, keduanya menemukan bila domestikasi unta erat kaitannya dengan penggunaan binatang tersebut sebagai hewan angkut. Karakteristik hewan jenis ini adalah keberadaan lesi di bagian tulang kaki sebagai akibat dari mengangkut beban yang sangat berat.
Dari hasil penggalian di sejumlah situs tambang dan kota di Selatan Levant, mereka menemukan sisa-sisa tulang belulang unta yang memiliki karakteristik serupa. Uniknya tulang belulang ini muncul di lapisan tanah dan berasal dari abad ke-10 hingga 9 SM. Era ini sendiri bertepatan dengan invansi Firaun Shoshanq I yang terjadi pada 925 SM, dimana sejumlah besar unta digunakan sebagai alat angkut hasil tambang menggantikan peran keledai. Temuan ini secara langsung mengkonfirmasi argumentasi para arkeolog sebelumnya yang berpendapat bahwa unta baru dipelihara di levant pada awal milenium pertama SM.
Bagi mereka yang akrab dengan Bible temuan ini akan mengejutkan, karena hampir seluruh tokoh yang hidup sebelum abad 10 SM akrab sekali dengan unta. Dalam Genesis 32 misalnya kita mendapati Ya’qub memberi hadiah berupa 30 ekor unta betina berikut anaknya, bersama 200 kambing betina dan 20 pejantan, berikut binatang-binatang lainnya kepada Esau. Selain itu kita juga mendapati binatang tersebut muncul dalam kehidupan Laban, Ibrahim, dan para patriark lainnya. Padahal kisah mereka berada dalam kurun waktu antara tahun 2000–1800 SM dimana pada saat itu unta belum didomestikan apalagi dipakai buat jalan-jalan. Anakronisme unta inilah yang menjadi salah satu batu hambatan bagi historisitas Ibrahim dkk.
Gambar: Illustrasi perjalanan Ibrahim dengan unta.[7]
Kesimpulan
Sementara kita memiliki bukti kuat bahwa baik nama maupun budaya yang melatarbelakangi kisah Ibrahim dan keluarganya adalah nyata, kita juga memiliki bukti-bukti lain yang bertentangan secara kronologis, yakni pada kurun waktu mana hendak kita taruh kisah-kisah nabi ini. Pada abad ke-21 SM kah, abad ke-15, atau malah abad ke-10 SM bersamaan dengan masa hidup Sulaiman? Tidak ada jawaban pasti akan hal tersebut.
Bagaimana menurut anda?
PS
Tulisan ini sudah saya buatkan video explainer di Youtube, sila berkunjubg ke link ini:
Catatan Kaki
[3] Abraham and Archæology on JSTOR
[4] The Problem of Childlessness in near Eastern Law and the Patriarchs of Israel on JSTOR
[5] The Wife-Sister Motif in the Patriarchal Narratives
[6] The Introduction of Domestic Camels to the Southern Levant: Evidence from the Aravah Valley
[7] Domesticated Camels Came to Israel in 930 B.C., Centuries Later Than Bible Says